Senin, 13 Oktober 2008

Mimpi Tak Pernah Mati

Papan nama itu masih terawat baik: Lorraine Motel. Terletak di 405 Mulberry Street, Memphis, Tennessee. Masuk ke halamannya, tampak sebuah rangkaian bunga tergantung di pagar balkon kamar nomor 306, lantai dua.

Martin Luther King, Jr., tokoh pergerakan hak-hak sipil kaum hitam Amerika Serikat, ditembak di balkon depan kamar itu. Pada 4 April 40 tahun lampau, James Earl Ray melepas peluru yang merobek pipi dan menembus rahang. Setelah merusak tulang sumsum King, timah panas itu bersarang di dadanya. Satu jam kemudian, pukul 07.05 malam, King meninggal di Rumah Sakit St. Joseph, Memphis, pada usia 39 tahun.

Untuk mengenang King, sejak September 1991, motel itu berubah menjadi Museum National Civil Rights. Selain merawat kamar 306—tempat King tidur sebelum dibunuh—museum ini merekam seluruh jejak perjuangan hak sipil kaum Afrika-Amerika.

Cerita itu ditata secara kronologis. Bermula dari abad ke-17 ketika pekerja dari Afrika pertama tiba. Lalu maju ke masa perang sipil, pembebasan buruh, Ku Klux Klan, dan segregasi sosial.

Periode Montgomery Bus Boycott yang berlangsung selama setahun sejak 5 Desember 1955 hingga 21 Desember 1956 mendapat tempat agak istimewa: ruang khusus yang lega dan bus tua dari zaman segregasi—persis seperti yang dulu ditumpangi Rosa Parks. Di dalam bus ditaruh patung sopir kulit putih yang menoleh ke belakang, dan patung Parks yang melengos ke jendela menghindari tatapan sopir. Parks menolak permintaan sopir untuk memberikan tempatnya kepada penumpang kulit putih. Dia dipenjarakan. Dan muncullah aksi perlawanan.

Jika pengunjung museum naik ke bus lewat pintu depan, akan terdengar suara seolah si sopir yang berbicara. Dia memerintahkan penumpang hitam naik lewat pintu belakang. Kalau pengunjung tetap melangkah, berikutnya muncul cacian dan ancaman hukuman penjara. Seperti itulah segregasi di bus kota di Selatan kala itu.

”Komunitas Negro yang dulunya diam dan sabar telah sepenuhnya terjaga,” tulis King belakangan, mengenang peristiwa Parks. Montgomery Bus Boycott merupakan debut King dalam civil rights movement. Dia pendeta di Gereja Baptis Dexter Avenue di kota itu. Ketika massa memutuskan untuk membentuk Montgomery Improvement Association untuk mengawal boikot, King tampil ke depan.

Setelah boikot berhasil, mereka membentuk Southern Christian Leadership Conference. Lagi-lagi King dipilih menjadi presidennya. Kelompok gabungan gereja yang mewakili kaum hitam di Selatan itu pun segera muncul sebagai kekuatan besar.

Kelompok ini misalnya terlibat gerakan antisegregasi di Albany, Georgia, pada 1961. Pada 1963, mereka menggerakkan protes yang diawali dengan boikot untuk membela hak sipil warga hitam di Birmingham, Alabama. King dan Southern Christian juga berada di belakang demonstrasi di St. Augustine, Florida, dan di Selma, Alabama, pada 1964.

Tapi yang paling dikenang adalah march di Washington, DC, pada 28 Agustus 1964. Ini aksi gabungan beberapa organisasi: Southern Christian, yang dipimpin King, National Association for the Advancement of Coloured People (Roy Wilkins), National Urban League (Whitney Young), Brotherhood of Sleeping Car Porters (A. Philip Randolph), Student Nonviolent Coordinating Committee (John Lewis); dan The Congress of Racial Equality, yang dipimpin James L. Farmer. Mereka dikenal sebagai ”Big Six”.

”Saya bermimpi,” kata King dalam pidatonya di Washington itu, ”Suatu hari nanti, negara ini akan terbangun dan menggenapi kredonya: kami memegang teguh kebenaran ini apa adanya, bahwa semua orang diciptakan setara.”

Dan rangkaian jejak perjuangan itu berujung di kamar 306. Si pemimpi telah pergi, tapi mimpinya terus hidup.

Philipus Parera